Dari awal, peradaban telah menyusun konsep tentang kerja. Dari pemburu jaman paleolithikum sampai petani jaman Neo-lithikum hingga pengrajin abad pertengahan dan pekerja industri di jaman sekarang ini, kerja adalah bagian integral dari kehidupan sehari-hari.
Namun untuk yang pertama sekali, tenaga manusia secara sistematis disingkirkan dari proses produksi. Sebuah generasi baru dari teknologi informasi dan komunikasi yang canggih menggantikan peran manusia di berbagai sektor. Mesin pintar telah me”rumahkan” lebih dari ratusan tenaga kerja kerah biru maupun kerah putih di seluruh dunia.
Para ahli ekonomi berpendapat bahwa tingginya angka pengangguran menunjukkan tingkat “penyesuaian” jangka pendek terhadap kekuatan pasar untuk mempercepat ekonomi global menuju kepada Revolusi Industri babak ketiga. Mereka seperti menjanjikan sebuah dunia baru yang lebih menakjubkan dimana perdagangan global akan dibanjiri oleh produk – produk berteknologi tinggi dan belum pernah terbayangkan sebelumnya.
Sementara jutaan tenaga kerja mulai kehilangan impian mereka akan masa depan. Setiap waktu, di kantor maupun di pabrik, mereka menunggu dengan penuh kecemasan bahwa suatu saat mereka akan mendapat giliran seperti rekan mereka yang telah lebih dahulu di PHK. Bayangkan kalau mereka harus bertarung melawan efisiensi, Quality Control dan mesin-mesin otomatis. Belum lagi kalau berhadapan dengan pengurangan produksi, Re-engineering dan Total Quality Management. Maka mereka akan frustasi dan meningkatkan perilaku anti sosial di masyarakat.
Program Komputer Menggantikan Peran Manusia
Saat ini teknologi industri telah menggantikan kekuatan fisik manusia. Tak hanya itu, teknologi berbasis Komputer juga mulai ikut-ikutan menggantikan peran otak manusia. Mesin-mesin otomatis, robot dan kecanggihan komputer mampu melakukan banyak pekerjaan yang dulu digeluti manusia. Mengingatkan kita pada suasana pedesaaan dimana jarang sekali melihat kerbau yang sedang membajak sawah karena peran mereka sudah digantikan oleh traktor.
Terperangkap dalam persaingan yang makin ketat dan tingginya biaya tenaga kerja memaksa perusahaan untuk melakukan perubahan dengan mempercayakan mesin-mesin pintar untuk melakukan pekerjaan yang seharusnya dikerjakan manusia. Meskipun di awal mereka harus mengeluarkan biaya ratusan juta atau bahkan milyaran untuk melengkapi alat-alat produksi mereka dengan robot-robot canggih atau mesin berbasis komputer tapi kedepannya mereka akan dapat mengeruk keuntungan dengan meningkatnya produktivitas, pengurangan biaya tenaga kerja dan yang pasti profit menjadi lebih besar.
Re-Engineering
Banyak perusahaan dengan cepat merestrukturisasi organisasinya dengan merombak sedemikian rupa hingga menjadi computer friendly. Dalam prosesnya, setahap demi setahap mulai mengurangi jenis pekerjaan tertentu, menerapkan suasana kerja berdasarkan team work, memperpendek jalur distribusi, menyederhanakan proses produksi, memangkas proses administrasi. Hasilnya? Produktivitas bisa ditingkatkan. Tapi apa implikasinya bagi sektor tenaga kerja? Re-engineering hanyalah salah satu kiat perusahaan dalam meningkatkan produktivitas dengan mengoptimalkan sumber daya yang ada. Itu artinya, ada banyak pekerjaan yang tereduksi. Ada banyak departemen yang harus merger. Dan hasilnya akan terjadi perampingan. Selanjutnya anda bisa membayangkan sendiri. Masa suram buat angkatan kerja kita. Inilah efek dari Revolusi Komputer dan Re-engineering dalam satu perusahaan. Perlahan tapi pasti, kita akan digiring kepada suatu masa dimana satu pabrik yang menghasilkan ratusan juta poduk per hari hanya dikendalikan oleh lebih kurang lima puluh orang saja. Dan untungnya hal ini tidak akan terjadi di Indonesia dalam waktu dekat. Karena kebanyakan pengusaha masih menganggap bahwa lebih murah mempekerjakan orang Indonesia ketimbang mengotomatisasi pabriknya dengan peralatan canggih.
Pada saat nantinya sektor manufaktur tidak mampu menyerap tenaga kerja yang ada, mungkin kita masih bisa berharap dari sektor pelayanan. Tapi dengan kehadiran Internet Banking dan Online Ticketing apa kita masih bisa berharap dari sektor ini juga?
Mungkin suatu saat Teller dan staf tiketing sudah tidak dibutuhkan lagi. Jadi intinya adalah semakin cepat kita diperkenalkan kepada teknologi canggih berarti semakin sempitlah lapangan pekerjaan yang ada.
Apa Arti Teknologi Buat Kita?
Saat gelombang otomatisasi melanda sektor industri di dunia, banyak pihak tak hanya para aktifis yang menyuarakan protes mereka atas kejadian ini. Tapi mereka tetap tak berdaya di tengah gelombang kapitalisme dimana pemimpin bisnis adalah raja yang selalu menyuarakan bahwa produktivitas yang diusung oleh teknologi akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan sekaligus penyerapan tenaga kerja.
Sebagian orang menganggap kehadiran teknologi banyak membantu manusia dalam berbagai sektor. Tapi mereka lupa bahwa teknologi itu sendiri makin lama makin menggerus peluang kita untuk menikmati masa depan. Meningkatnya angka penggangguran karena industri sarat teknologi tak mampu menyerap tenaga kerja yang ada. Bukan karena kekurangan order, tapi karena tempat buat manusia sudah digantikan oleh mesin. High Technology artinya jam kerja yang sedikit dengan keuntungan berlipat ganda. Karena bisa menghasilkan win-win solution buat pekerja maupun perusahaan. Ribuan pekerja akan memiliki waktu luang yang lebih banyak dan jam kerja yang lebih pendek sehingga lebih bisa menikmati hidup ketimbang perusahaan yang minim teknologi. Tapi dengan konsekwensi mempersempit lapangan kerja dan menambah depresi sosial.
Teknologi yang bagi negara-negara maju dianggap sebagai jalan keselamatan dan sumber kemakmuran suatu saat akan membuyarkan impian mereka. Saya tidak tahu apakah kita harus bersyukur dengan limpahan tenaga kerja yang kita miliki sehingga harganya menjadi murah mampu membuat para pengusaha berpikir dua kali untuk mengotomatisasi pabriknya dengan alat canggih yang tentunya membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Lantas mengapa ada sebagian orang “teriak” tentang lambannya alih teknologi dari negara maju ke negara berkembang termasuk Indonesia kalau itu memang baik untuk kita.
Lantas mengapa ada sebagian orang “teriak” tentang lambannya alih teknologi dari negara maju ke negara berkembang termasuk Indonesia kalau itu memang baik untuk kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar